Jakarta – Akhir akhir ini Aparat Keplisianm seolah olah menjadi bulan bulanan pihak pihak tertentu dengan maraknya penembakan terhadap anggotanmya. Entah apa motif dan siapa pelakunya belum juga diketahui .
Bagaimana warga tidak resah dan bertanya tanya, dalam dua bulan terakhir inii diwilayah Jabodetabek empat polisi tewas yakni Bripka Sukardi , Aiptu Dwiyatno, Aiptu Kushendratna, dan Bripka Ahmad Maulana. sementara dua anggota polisi yang selamat, meski juga ditembak adalah Aipda Patah Saktiyono. dan terakhir Briptu Ruslan, yang ditembak orang tak dikenal di Perumahan Bhakti ABRI, Cimanggis, Depok, Jawa Barat , Jumat malam.
Aipda Patah Saktiyono. ditembak pada 27 Juli lalu di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten. Aanggota Satuan Lalu Lintas Polsek Metro Gambir, Jakarta Pusat ini selamat walau di tembak .
Briptu Sukardi tewas ditembak tepat di depan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, (KPK) di Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Selasa sekitar pukul 22.20 WIB. Dia ditembak saat mengawal iring-iringan truk pengangkut peralatan konstruksi, dengan mengendarai sepeda motor Honda Supra bernomor polisi B 6671 TXL.
Aiptu Dwiyatno ditembak oleh orang tak dikenal pada 7 Agustus 2013 di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Selang sepekan, tepatnya satu hari sebelum perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia, giliran Aiptu Kushendratna dan Bripka Ahmad Maulana tewas ditembak di Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten.
Dosen PTIK, Bambang Widodo Umar mengimbau kepolisian RI untuk introspeksi diri terkait beberapa kasus penembakan terhadap anggota polisi akhir-akhir ini. “Dengan kasus-kasus yang begitu massif penembakan-penembakan anggota polisi, Polri perlu mawas diri, introspeksi ke dalam. Dalam arti, terimalah masukan-masukan dari masyarakat secara jujur, tidak berkelit-kelit, tetapi analisislah dengan sungguh-sungguh bahwa di dalam dirinya pasti masih ada kekurangan,” kata Bambang Widodo Umar seperti dilansir situs VOA
Namun menurut Harits Abu Ulya Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), seperti dilansi itoday 16 September 2013, tidak tertutup kemungkinan, pelaku teror terhadap kepolisian, yang marak belakangan ini, justru aparat antiteror kepolisian sendiri. Aparat antiteror itu tidak lain adalah Detasemen Khusus Antiteror Polri (Densus 88).
Analisis itu disampaikan Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya kepada itoday (16/09) menanggapi aksi teror terhadap aparat kepolisian belakangan ini. Harist menunjuk teror di salah satu Mapolsek di Sulteng, Juli 2013, sebagai dasar analisis untuk menguak teror itu.
“Bukan tidak mungkin aksi teror justru pelakunya adalah aparat antiteror sendiri. Kita bisa belajar dari kasus teror penembakan di salah satu Mapolsek Sulteng pada bulan Juli 2013. Dan peristiwanya tidak begitu terekspos media,” ungkap Harits.
Berdasarkan penelusuran CIIA, pihak kepolisian sebenarnya telah menemukan pelaku teror penembakan di Mapolsek Palu Selatan. Teror pada 17 Juli 2013 itu pelakunya tidak lain adalah oknum Densus 88 yang berinisial “YW”.
Setelah hal itu terbongkar, CIIA mencatat, Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah mengakui bahwa penembakan yang dilakukan “YW” adalah sebagai bentuk uji kesiagaan Mapolsek setempat terhadap ancaman aksi terorisme.
Ketika itu, Kabid Humas Polda Sulteng AKBP Soemarno menyatakan peristiwa itu sesungguhnya bukan aksi terorisme seperti yang diduga selama ini. “Itu bukan aksi terorisme, namun memang hanya sebagai bentuk uji kesiagaan,” tegas Soemarno di depan awak media.
CIIA mencatat, pihak kepolisian sebenarnya telah mengungkap kasus itu pada 18 Juli 2013. Pelaku yang berinisial “YW” telah berhasil ditangkap oleh personel Brimob yang berinisial “R” di arena STQ Palu. Namun, agenda mengumumkan keberhasilan penangkapan pelaku diurungkan setelah diketahui pelaku adalah oknum anggota Densus 88 yang bertugas di Poso. Bahkan sebaliknya anggota Brimob yang berinisial “R” diciduk dan dibawa ke Mabes Polri untuk sebuah kepentingan.
Harits Abu Ulya, menegaskan, dari fakta itu masyarakat harus sadar bahwa teror dan terorisme sudah mengalami pergeseran sedemikian rupa.
“Dan betapa bahayanya jika ‘teror’ dilakukan oleh aparat dengan memuntahkan peluru hanya untuk kepentingan memberantas terorisme. Dan alasan ‘teror’ dibuat hanya untuk menjadi triger kesiapan aparat, menjadi sangat klise sekali. Ini menjadi sampel penting,bukan tidak mungkin teror-teror yang menjamur di Indonesia adalah produk dari sebuah “rekayasa” untuk mencapai target-target tertentu,” pungkas Harits.
dari dulu emang udah banyak yg menduga ini semua hanyalah inside job
Waduhh mengerikan jika memang akan terjadi seperti itu kenyataannya, densus 88 yang harusnya melindungi semoga tidak akan meleset lagi,,